Senin, 02 September 2013

Soundtrack Of This Months

Sherina - Pergilah Kau


Tak mau lagi aku percaya
Pada semua kasih sayangmu
Tak mau lagi aku tersentuh
Pada semua pengakuanmu


#
Kamu takkan mengerti rasa sakit ini
Kebohongan dari mulut manismu

Reff:
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah semua rasa bersalahmu
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah rahasiamu yang tak ingin kutahui


Tak mau lagi aku terjerat
Pada semua janji-janjimu
Tak mau lagi aku terkait
Pada semua permainanmu


Back to #, Reff

Bertahun-tahun bersama
Kupercayaimu
Kubanggakan kamu
Berikan s’galanya
Aku tak mau lagi
Ku tak mau lagi huoo… Yeee…Hee…

Back to Reff

Pergilah kau
Tak ingin kutahui
Pergilah kau
Ku tahui


*okay, the Italic one represent the conditions that i won't involve again *wink*

Kamis, 22 Agustus 2013

Kuis Giveaways Since We Meet

Holaaaa readers! Ketemu lagi nih di kuis giveaways novelku. Maaf yaa baru sempat kabarin sekarang, sibuk mikirin kuisnya kayak apa sih hehehe *sedikit curcol*
Karena novel terbaruku ini kental sama nuansa kekompakkan sahabat, aku bakalan kasih yang menyerempet soal itu.
Kuis kali ini simple kok. Modalnya cuma twitter aja. Pasti pada punya akun twitter kan?
Kalian lanjutkan kalimat ini "Aku tanpa sahabat itu...." dan mention ke @priciltasia dan @GradienBuzzers dengan hastag #GiveawaysSWM
Contoh: Aku tanpa sahabat kayak remot tanpa batere. Gak bisa tetep 'hidup' @priciltasia @GradienBuzzers #giveawaysSWM
Syarat ikutan kuis ini follow @GradienBuzzers dulu yaa. 1 orang hanya boleh 1 tweet dengan format yang sudah aku kasih tahu. Kalau enggak sesuai, sori yaa bakalan aku diskualifikasi^^
Periode tweet sampai tgl 26 Agustus 2013 jam 23:59 yaaahh
Good luck then!

Kamis, 25 Juli 2013

Since We Meet

Hola pembaca, lama banget sejak postinganku terakhir di blog ini. Selain malas, penulisnya lagi "dicekik" banget sama tetek-bengek urusan mahasiswa akhir. Pertama, bikin CV, form magang, sampai akhirnya sibuk magang di majalah remaja dan terakhir, sibuk ngurusin masalah skripsi.
Well, semua "bagian yang enggak enak" itu akhirnya terbang melambung ke awan-awan, tergantikan sebuah kabar gembira.
Yapsss, finally aku bisa "lahiran" anak ketiga, alias novel ketiga.


Judul : Since We Meet
Genre: Teens, TeenLit
Penerbit: Gradien Mediatama
Editor: Agni Gari
Harga : Rp 45.000 ,-
Sinopsis:
Ini kisah tentang Freiya, Timothy, Kelcia, Hansel, Reisha, dan Rainer. Mereka bertemu, berinteraksi, dan menjalin ikatan persahabatan karena berasal dari sekolah yang sama dan diikat lekat dengan kehadiran grup band yang mereka bangun bersama (eXXo band) yang sedang menapaki jenjang untuk eksis
Pergulatan hidup dan pergumulan cinta kemudian hadir di tengah-tengah mereka, menguji kekuatan ikatan persahabatan yang telah mereka bangun. Dalam perjalanan ini, mereka belajar tentang makna hidup, makna memberi, makna saling memahami dan kesetiakawanan untuk saling menegur dan meneguhkan.

Pada akhirnya setiap orang belajar untuk bertumbuh menjadi pribadi-pribadi yang lebih dewasa dalam setiap aspek. Bukan sekadar mendamaikan pergesekan antara persahabatan vs cinta dan dinamika kedua. 


#SWM ini udah beredar di toko buku, jadi buruan dicari yaa^^

Minggu, 17 Februari 2013

Asal-Muasal Pintu Imajinasi Itu Terbuka


Mendadak, dalam pikiran saya menyeruak sebuah perasaan kangen masa kecil dulu. Waktu saya masih kelas 1 SD dan hobi banget setiap minggu meminjam buku-buku dongeng dari perpustakaan sekolah. Saya merasa beruntung, dulu orang tua mengirim saya ke sebuah sekolah swasta yang memiliki fasilitas perpustakaan yang terbilang, super-duper keren. Banyak rak yang dijejali bejibun-bejibun buku di samping buku pengetahuan, pelajaran, novel, daaaaaan buku cerita dongeng serta novel-novel yang menurut saya unik banget waktu itu. Setiap hari saya berkunjung ke perpustakaan sekedar untuk membaca puluhan buku yang menarik perhatian saya. Soalnya waktu itu tiap murid hanya dibatasi meminjam 1 buku saja dengan kurun waktu seminggu. Kalau sebelum waktunya dikembalikan, boleh untuk meminjam lagi.
Nah, karena waktu itu banyaaaaaaaak banget yang mau saya baca, alhasil saya sering nyolong-nyolong waktu ke Perpus buat baca di sana (masih kecil aja udah ngerti bolos pelajaran hihi). Dan saya salah satu orang yang paling jejingkrakan kalau tiba-tiba ada pelajaran yang lokasinya dipindahkan ke Perpus. Bukannya mendengarkan penjelasan guru, mata saya malah jelalatan berkeliling Perpus untuk mengira-ngira, rak buku apa yang nanti akan saya jelajahi.
Masa kecil saya diisi dengan cerita-cerita Tiga Ekor Babi yang Melawan Serigala, Puteri Duyung, Hansel dan Gretel, Gadis Korek Api, Cinderella, Puteri Salju, Gadis Berkerudung Merah, dan lain-lain. Awalnya saya tertarik dengan buku-buku itu karena begitu menggiurkan melihat ilustrasi gambarnya yang berwarna-warni. Plus, Mama yang selalu mendorong saya untuk belajar banyak dari buku-buku itu. Sejak saat itu... saya cinta mati sama buku dan cerita. Ketika saya kelas 3 SD, saya mulai kenal dengan Enid Blyton. Kisah detektif anak-anak yang mengungkap misteri. Saat membaca cerita itu, saya selalu merasa seolah-olah saya menjadi bagian dari tim Lima Sekawan yakni; Julian, Dick, George, Anne, dan Timmy. Saat meminjam buku itu pertama kali, dahi saya sering mengernyit bingung lantaran tak mengerti beberapa bagian ceritanya. Lalu, Mama menjelaskan pelan-pelan ketika saya melontarkan pertanyaan. Sehingga, pelan-pelan saya mulai mengerti dengan  berbagai istilah asing. Saya mulai mengerti kalau dunia luar tak melulu hanya ada “orang baik” saja. Ada “orang jahat” yang diwaspadai.
Kegemaran membaca saya makin meningkat. Tak hanya di novel dan cerita Lima Sekawan, ada buku-buku lainnya (saking banyaknya, sampai lupa pernah baca apa aja). Buku-buku itu layaknya “kunci” yang membukakan Pintu Imajinasi, yang sekarang menjadi modal utama saya sebagai Penulis.
Mulai kelas 5 SD, karena saat itu komik sedang menjamur, saya mulai membaca komik. Dan, saya mengenal soal romatisme cinta dari komik Salad Days. Lewat itu saya semakin sering menciptakan kisah imajinasi yang muncul seperti film yang berputar dalam otak saya. Lalu, ketika Mama menghadiahkan saya sebuah buku kumpulan dongeng terbaik Hans Christian Andersen, saya girang bukan main. Rasanya seperti ada yang bergemuruh dalam hati. Suatu hari saya mesti bisa menuliskan kisah imajinasi saya sendiri.
Kemudian, ketika saya kelas 1 SMP, saya mulai mengenal novel TeenLit. Saya juga membaca cerita cantik, kisah pendek dengan tokoh-tokoh orang Jepang. Baca novelpun oper-operan dengan teman sekelas saya yang update banget mengoleksi novel keluaran terbaru. Hingga akhirnya ada seorang teman di kelas yang menulis novel di kertas, kemudian diedarkan sekelas untuk dibaca. Seperti novel yang biasanya digilir baca oleh kami. Melihat dia, saya jadi ikut-ikutan mau nyoba. Sampai akhirnya jadi deh 100 halaman novel, ditulis oleh tangan saya sendiri di kertas organizer (ini asli, sampai sekarang masih saya simpan di dalam laci lemari). Rasa lelah dan pegal rasanya terbayar saat melihat kedua sahabat saya yang waktu itu kedapatan tugas jadi pembaca pertama dan mengatakan, “Cil, cerita yang kamu bikin itu seru banget!”
Well, jujur waktu itu saya menuliskan cerita dengan tokoh utama saya sendiri. Bersama dengan dua sahabat saya itu. Saat itu saya lagi naksir-naksirnya sama seorang kakak kelas charming. Karena nggak punya cara buat kenalan, alhasil menulis menjadi media saya membuat cerita sendiri tentang kisah saya dan dia. Sering banget berharap cerita yang saat itu saya tulis bisa jadi kenyataan.
Saya bersyukur bisa mengenal Hans Christian Andersen dan Enid Blyton. Sebetulnya, Mama yang dulunya bekerja sebagai “mediator” mengenalkan saya kepada maha karya kedua tokoh legendaris itu. Mama yang menyediakan saya petunjuk untuk saya menemukan “kunci” pembuka pintu imajinasi itu.
Saya juga bahagia, karena semasa saya sekolah dari mulai SD, SMP, SMA, bahkan sampai kuliah selalu ditemani dengan fasilitas perpustakaan yang bener-bener lengkap, keren, dan bikin kalap. Terlebih masa-masa di mana saya masih berseragam dulu. Bahkan saat SMA, saya akrab dengan penjaga perpustakaan. Dan didaulat untuk bertugas merekomendasi buku-buku apa yang akan dibeli Perpustakaan dan masuk menjadi koleksinya. Ah, betapa bahagianya saya kala itu...
Dan sekarang, saat akhirnya bisa menjadi penulis, kadangkala saya masih suka enggak percaya sendiri. Melihat novel saya bertengger manis di salah satu rak dalam toko buku atau melihat langsung orang yang membeli novel saya di toko buku. Walau perjalanan saya masih panjang dan masih jauh disandingkan dua “Dewa” (yakni dua penulis favorit saya, Hans Christian Andersen dan Enid Blyton), ada keinginan dalam hati saya ingin menjadi seperti mereka. Menjadi “kunci” pembuka Pintu Imajinasi bagi calon penulis lainnya. Jadi, saran saya kalau memang mau jadi penulis syarat mutlak yang harus dimiliki harus lebih banyak kalap sama buku ketimbang yang lain (asal jangan bela-belain bolos jam pelajaran cuma buat nongkrong di Perpus kaya saya hihi).

Selasa, 12 Februari 2013

My Muse

Holaaaa my lovely blog! *hugs*
Sudah lama rasanya tidak membuang segala uneg-uneg, curhatan. dan perasaan-perasaan lain yang biasanya hanya disalurkan lewat media ini.
well, faktor kemalasan menjadi alasan terbesar. Di samping minimnya waktu online karena didera setumpuk pekerjaan rumah, tugas kuliah dan nulis. Untuk urusan buat alasan yang jitu, rasanya saya memang ahlinya *wink*

Nahhhh bahasan pertama yang ingin dibahas dan jadi pembuka pembicaraan kali ini adalah soal Muse. atau bahasa simpelnya itu sumber inspirasi. Bintang Inspirasi.
Setiap penulis memiliki bintang inspirasinya masing-masing. Satu dengan yang lain berbeda dan tidak menutup kemungkinan, sama. Toh, tiap penulis punya gaya serta ritme khas sendiri. Pasti, si "Muse" ini juga sama aturannya.
Saya sendiri tidak khusus mengklaim sesuatu menjadi Muse saya. semisal, ada penulis yang menganggap hujan serta cuacanya yang sejuk mengigit tulang menjadi muse-nya.
ketika hujan turun, yang terjadi si penulis ini begitu lancar menulis. bisa dibilang ini menjadi golden timenya.
Balik lagi ke cerita saya,
saya sendiri ketika menulis ditemani seperangkat lagu-lagu. Karena saya begitu menggilai Daughtry, aliran musik yang menurut saya easy listening adalah slow-rocks. Band yang menganut aliran ini semacam Tradding Yesterday, Simple Plan, Boys Like Girls (its just my ear's opinion, btw)
lalu saya juga menyukai lagu-lagu Taylor Swift. lirik lagu yang diciptakan selalu terdengar unyu dan bikin semangat memompa naik. dan sering juga saya mendengarkan soundtrack K-drama yang biasanya baru tuntas ditonton.
Selain lagu, sumber lain dari muse saya adalah film-film romantis yang bisa memancing air mata saya turun. Divisualkan dengan bentuk tindakan simpel, namun dapat membuat hati tercabik-cabik karena terharu. bukan roman picisan pastinya. Tak heran saya menyukai (ralat: super duper) dan fanatik terhadap K-drama.
kemudian, cerita-cerita orang di sekitar saya. drama hidup yang berlangsung
live di depan mata saya langsung. mau itu dari sahabat atau orang asing yang saya temui di kampus, stasiun atau tempat umum lainnya. Menurut saya, setiap manusia punya sisi yang menarik yang bisa diperhatikan. masalah keluarga, cinta, persahabatan, dan lain-lain. saya senang menjadi pengamat lingkungan sekitar. memperhatikan orang asing yang sedang tertawa bersama kumpulan sahabatnya, atau sedang menelepon dengan heboh di tengah keramaian. wih, saya enggak bisa membayangkan kalau tiba-tiba disuruh migrasi ke sebuah Pulau Antah Berantah tanpa ada objek lain selain Pohon kelapa yang melambai, ombak laut yang bergelung, dan hamparan pasir yang bertaburan.
secara tak langsung, orang-orang asing itu mempunyai andil besar dalam proses saya menulis tiap hari. harusnya sih saya berbagi upeti (langsung menyesal ngomong begini, lantaran orang asing itu jumlah segambreng)

Intinya sih saya cuma mau bilang, saat kamu sudah menemukan bintang inspirasimu dalam menulis, hal itu akan memudahkanmu. Layaknya kompas, yang memberikan pedoman saat mulai kehilangan arah. Seperti tongkat penyangga yang menopang dirimu ketika hampir jatuh. apapun itu bentuk dan rupanya, muse itu penting banget buat menjadi modalmu sebagai seorang penulis.